HARI Buku Nasional yang diperingati setiap 17 Mei patut menjadi renungan
bersama, betapa penulis buku adalah profesi yang tak menguntungkan
(secara finansial). Meski ditilik dari segi idealisme, penulis buku
diibaratkan pengikat ilmu, penguri-uri pengetahuan, pengabadi kisah
sejati, dan sebagainya. Akan tetapi, profesi itu lebih menjadi semacam
"kutukan".
Betapa tidak, royalti yang diterima para penulis buku
Indonesia rata-rata belum pantas, masih jauh dari "menyejahterakan".
Padahal, seorang penulis buku tak ubahnya manusia biasa yang ingin hidup
layak dengan profesi itu. Di situ, penerbit amat berperan.
Seorang
teman pernah mengeluh lantaran buku barunya tentang pendidikan tidak
dihargai dengan pantas oleh penerbit. Jumlah royalti yang diterima teman
saya itu hampir sama dengan honor artikel satu kali muat di media massa
lokal. Berbagai alasan dikemukakan penerbit. Mulai buku yang kurang
laku, biaya cetak yang mahal, potongan untuk distributor, hingga
lain-lain.
Alhasil, pengalaman pahit tersebut menjadikan teman
saya berpikir ulang saat berencana menulis buku (lagi). Alasan paling
konkret, menulis buku tak menguntungkan secara materi. Dia kemudian
memilih menjadi penulis opini untuk media massa, yang ternyata malah
mampu menghidupinya.
Kisah itu sedikit banyak berpengaruh pada
dunia perbukuan nasional, yang menunjukkan gejala lambat berkembang.
Sebab, penulis pada dasarnya merupakan ujung tombak dunia perbukuan.
Pada
perjalanannya, ada dua tipe penulis buku. Yakni, penulis idealis dan
pragmatis. Penulis idealis adalah mereka yang menulis buku dengan tidak
terlalu memikirkan royalti. Bagi mereka, menulis adalah berkarya untuk
melayani masyarakat dan tak perlu menuntut kompensasi materi berlebih.
Mereka juga tak ambil pusing, apakah bukunya nanti diminati pasar atau
sebaliknya. Sebab, bagi mereka, naskah bisa diterbitkan saja menjadi
suatu kebanggaan tersendiri.
Kedua, penulis pragmatis yang
memandang materi di atas segala-galanya. Penulis jenis itu diibaratkan
mesin ide yang didesain untuk memenuhi selera pasar perbukuan. Tak
menjadi soal apakah buku yang mereka tulis berkualitas atau tidak. Yang
penting, karya tersebut bisa ditukar dengan pundi-pundi rupiah. Mereka
cenderung menulis buku berdasar pesanan penerbit, yang tentu saja telah
disesuaikan dengan perkembangan pasar.
Dua tipe penulis itu kini
menjadi persoalan baru perbukuan kita. Pada tipe penulis buku pertama,
ada faktor yang sedikit banyak menjadikan lesu dunia perbukuan.
Karya-karya yang dipaksaterbitkan, yang tak didahului survei pasar, akan
kurang laku di pasaran. Sementara itu, pada tipe penulis kedua yang
semata-mata mengandalkan selera pasar, buku yang dihasilkan cenderung
kurang berkualitas.
Solusi atas dua persoalan itulah yang sulit
ditemukan. Ditambah, pembajakan merupakan masalah klasik yang sulit
dipecahkan jika muncul buku berkualitas sekaligus laris manis di
pasaran.
<b>Benang Kusut</b>
Pengamat dan
mantan praktisi pendidikan Djauzak Ahmad (2000) berpendapat, dunia
perbukuan kita dikepung banyak hal yang tak mudah dibenahi. Bahkan,
kepungan tersebut menjelma menjadi benang kusut yang sulit diurai.
Pengepung
yang paling mutakhir berbentuk "kotak ajaib" bernama televisi. Di
negara maju yang budaya bacanya sudah tinggi saja, rata-rata anak
sekolah menghabiskan sekitar 60-90 jam per pekan untuk menonton
televisi. Apalagi di Indonesia yang masih didominasi budaya lisan dan
menonton, tentu proporsi waktu untuk menonton televisi jauh lebih besar.
Harus
diakui, ada korelasi kuat antara dunia perbukuan dan menonton televisi.
Sebelum pemerintah mendirikan TVRI pada awal 1960-an, produksi buku
Indonesia mencapai 1.500 judul per tahun. Setelah itu, produksi menurun
menjadi hanya 700-an judul buku per tahun. Meski muncul tren naik,
terutama pada 1995-an yang mencapai 5.800 judul, produksi buku harus
dikaitkan dengan pertambahan penduduk dan perbaikan sektor ekonomi. Yang
jelas, televisi kini lebih digemari dan banyak orang yang enjoy
bertafakur berjam-jam di depannya ketimbang membaca buku.
Kondisi
itu secara langsung menjadi hambatan tersendiri bagi perkembangan dunia
perbukuan kita. Kuatnya dominasi budaya menonton mengakibatkan
perbukuan kita sulit berkembang. Budayawan Taufiq Ismail pernah
membandingkan bacaan siswa Indonesia dengan siswa negara lain. Terdapat
jurang teramat lebar, siswa Indonesia (nol buku), Malaysia (enam buku),
dan Amerika (30-an buku) selama duduk di bangku SMU.
Hal itu
diperparah dengan minimnya anggaran keluarga Indonesia atas pendidikan,
salah satunya untuk membeli buku. Bahkan, pada keluarga yang tergolong
miskin pun, membeli buku bukan prioritas atas. Mereka lebih mementingkan
belanja rokok untuk dibakar dengan sia-sia ketimbang membeli buku.
Jadi, selain kuatnya budaya lisan dan menonton, yang membuat dunia
perbukuan kita cenderung stagnan adalah lemahnya kesadaran masyarakat
untuk membeli buku.
Butuh perjuangan ekstrakeras dalam rangka
meningkatkan perkembangan alam perbukuan kita. Satu poin penting yang
perlu diupayakan bersama adalah memberikan edukasi yang tepat bagi
masyarakat untuk mau membaca, mencintai, dan membeli buku.
Andai
sudah tertanam kesadaran kuat pada tiga hal tersebut, niscaya perbukuan
kita berkembang lebih pesat lagi. Penulis buku bisa memperoleh royalti
lebih besar lantaran semakin banyak karyanya yang terbeli. Sementara
itu, penerbit juga diuntungkan karena produknya diminati banyak orang.
0 komentar:
Posting Komentar